Pengikut

Senin, 29 Desember 2014



Organisasi Papua Merdeka
Morning Star flag.svg
Add caption
Tanggal operasi1965–sekarang
IdeologiNasionalisme Papua
Organisasi Papua Merdeka (disingkat OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang saat ini di Indonesia, yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya,[1] dan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Gerakan ini dilarang di Indonesia, dan memicu untuk terjadinya kemerdekaan bagi provinsi tersebut yang berakibat tuduhan pengkhianatan.[2] Sejak awal OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan dilakukan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Pendukung secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.

2 komentar:

  1. ako Tabuni
    Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
    Mako Tabuni (lahir di Wamena, Jayawijaya, Papua - meninggal di Jayapura, Papua, Indonesia, 14 Juni 2012)[1] adalah aktivis Papua dan wakil ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah ormas yang berkampanye untuk kemerdekaan wilayah Papua Barat.

    Kematian[sunting | sunting sumber]
    Pada tanggal 14 Juni 2012, Mako tertembak dalam sebuah operasi penangkapan oleh Kepolisian Papua di Kompleks Perumahan Waena di Jayapura. Menurut laporan resmi kepolisian, Mako menolak penangkapan dan merebut pistol aparat saat hendak ditangkap, sehingga aparat menembaknya, melukai paha kirinya.[2][3] Penembakan Mako memicu kerusuhan besar-besaran dan kekerasan di Jayapura.[4] Aktivis pro-kemerdekaan Papua mengklaim bahwa Tabuni sengaja ditembak oleh kepolisian, yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Mako dilaporkan masih hidup ketika ia dirujuk ke rumah sakit Bhayangkara di Jayapura dan bahwa ia meninggal karena pendarahan dari luka tembak yang dialaminya.

    Dalam sebuah pernyataan resmi, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan bahwa Tabuni ditembak setelah ia merebut senjata dari polisi yang berusaha menangkapnya dan melarikan diri,[5] sementara juga menambahkan bahwa penyelidikan menemukan bahwa Tabuni memiliki pistol dengan 18 peluru.[6] Ia dicari karena "menyebabkan keresahan di provinsi (Papua)", menurut Kepala Kepolisian Daerah Papua, Bigman Lumban Tobing. Setelah kematian Tabuni, sekelompok besar massa mengamuk di Jayapura, banyak dari mereka membawa parang dan panah.[7]

    Pemakaman[sunting | sunting sumber]
    Setelah kematian Tabuni, kepolisian awalnya menolak untuk melepaskan jenazahnya pada keluarganya, mengatakan bahwa mereka akan melakukan pemakaman Tabuni. Mereka mengubah keputusan tersebut, mengizinkan keluarga Tabuni mengambil jenazah Tabuni dari Rumah Sakit Bhayangkara milik Polri di Jayapura, untuk dimakamkan pada tanggal 16 Juni 2012 di Pos 7 Sentani, Jayapura.[8][9]

    Referensi[sunting | sunting sumber]
    ^ Kapolda Papua: Rusuh Papua Akibat Penangkapan Mako Tabuni

    BalasHapus
  2. Latar belakang[sunting | sunting sumber]
    Kekuasaan Indonesia atas provinsi Papua masih diperdebatkan sejak 1963 ketika negara ini mengambil alih provinsi tersebut dari Belanda. Sebuah gerakan separatis dibentuk dan memerangi pemerintah Indonesia selama lebih dari 40 tahun. Sepanjang periode tersebut, seperenam penduduk Papua meninggal akibat operasi militer.[2] Warga Papua juga mempermasalahkan isu ekonomi. Mereka menyatakan bahwa eksploitasi sumber daya alam daerah hanya menguntungkan ibu kota Jakarta.[3]

    Insiden pengibaran bendera[sunting | sunting sumber]

    Bendera Bintang Kejora yang dipakai para pendukung kemerdekaan Papua
    Bulan Desember 2004, pada usia 26 tahun, Pakage dan aktivis Filep Karma mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam aksi demonstrasi 200 orang di luar Abepura, Papua. Menurut Amnesty International, polisi menembaki kerumunan dan memukuli sebagian dari mereka dengan tongkat. Mereka juga menangkap Karma. Pakage kemudian memprotes penangkapan Karma di kantor polisi namun malah ditangkap.[4]

    Pada Januari 2005, Pakage dan Karma diadili atas tuduhan pengkhianatan di Pengadilan Distrik Jayapura. Jaksa menuduh Pakage "mengganggu kedaulatan Indonesia".[5] Bulan Meinya, para pendukung kemerdekaan Papua terlibat rusuh dengan polisi di luar pengadilan, melempar botol dan batu kepada polisi yang menyerang balik dengan tongkat.[6] Komandan polisi yang bertugas dalam operasi ini dinyatakan bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia dan diganti beberapa hari pasca insiden ini.[7]

    Di penghujung sidang, Pakage divonis penjara selama 10 tahun,[8] sedangkan Karma 15 tahun.[1] Pada tanggal 24 Agustus 2005, Pakage sempat kabur dari pengawalan dalam perjalanan untuk mengambil buku dari rumahnya. Ia ditangkap kembali beberapa jam kemudian di kantor LSM Elsham Papua.[9] Sejumlah organisasi HAM internasional melayangkan protes atas nama Pakage dan Karma, termasuk Amnesty International yang menetapkan mereka sebagai tahanan keyakinan,[10] dan Human Rights Watch yang menyebut mereka tahanan politik dan menuntut pembebasan mereka secepat mungkin.[11]

    Pada bulan Agustus 2008, 40 anggota Kongres Amerika Serikat mengirim surat kepada pemerintah Indonesia yang isinya meminta Pakage dan Karma dibebaskan. Akibatnya, 100 orang mengadakan demonstrasi di depan Kedutaan Besar AS di Jakarta.[2] Pemerintah Indonesia menolah permintaan tersebut.[12] Demianus Rumbiak dari Divisi Papua di Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa Kongres AS tidak berhak mencampuri masalah dalam negeri Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa penangkapan Pakage bukan karena masalah HAM, tetapi karena melanggar hukum positif Indonesia. Pakage adalah satu dari 457 tahanan Papua yang diberikan pengurangan masa tahanan selama tiga bulan.[13]

    Penangkapan Pakage dan Karma menjadi topik unjuk rasa di depan kedubes Indonesia di Washington, D.C., tahun 2009.[3] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengampuni Pakage pada pertengahan 2010 dan ia dibebaskan tanggal 8 Juli. Human Rights Watch merilis pernyataan yang memuji pembebasan ini tetapi juga meminta agar tahanan politik Indonesia yang lainnya dibebaskan.[8]

    Aktivitas terkini[sunting | sunting sumber]
    Pakage melanjutkan aktivismenya setelah dibebaskan. Ia menjadi koordinator Parlemen Jalanan yang mewakili para tahanan Papua.[10] Pada Mei 2012, Pakage dan Organisasi Papua Merdeka mengumumkan akan kembali menyelenggarakan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora.[14]

    Tanggal 23 Juli 2012, Pakage ditangkap lagi karena membawa pisau lipat di tasnya saat menghadiri sidang pengadilan sesama aktivis Buchtar Tabuni[15] yang dituduh memulai unjuk rasa yang berakhir ricuh.[16] Pakage diadili dengan tuduhan "kepemilikan senjata" dan terancam hukuman penjara 10 tahun.[15] Menurut Amnesty International, per 24 Agustus ia masih tidak diizinkan bertemu pengacaranya dan kabarnya diancam akan disiksa secara fisik oleh polisi.[10]

    BalasHapus